PENDIDIKAN INKLUSI
Pendahuluan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak
tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan, pendidikan dan peralatan yang
khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anak-anak tersebut
mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang
berbeda. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan
anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang
sama.
PERMENDIKNAS
No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi, mewajibkan setiap daerah dapat
menyelenggarakan sekolah inklusi. Paling tidak dalam satu kecamatan memiliki
minimal satu SD dan satu SMP yang menyelenggarakan sekolah dengan sistem
inklusi. Hal tersebut juga berimplikasi pada pendidikan prasekolah yang salah
satu tujuannya adalah menyiapkan mental dan fisik anak didik untuk mengikuti
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apabila sistem inklusi telah
diselenggarakan sejak dini melalui pendidikan prasekolah, maka akan memberikan
pengaruh dan kontribusi yang cukup signifikan baik bagi lembaga maupun peserta
didik. Pada kenyataannya mengelola kelas dengan sistem inklusi bukanlah hal
yang mudah untuk dilaksanakan. Sampai saat ini kendala yang seringkali dihadapi
oleh sekolah-sekolah yang belum menjalankan inklusi adalah kesiapan guru untuk
mengelola kegiatan belajar mengajar.[1]
Pembahasan
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang
menerima semua keberagaman siswa, baik agama, suku, warna kulit, kemampuan
intelektual dan memberikan pelayanan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan
siswa. Pendidikan inklusi menerima semua siswa baik siswa normal maupun ABK dan
belajar bersama di sekolah regular. Dalam pelayanan ABK, guru harus mengetahui
hambatan serta kebutuhan apa yang diperlukan oleh anak tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi terdapat komponen yang saling terkait.
Komponen-komponennya yaitu fleksibilitas kurikulum, tenaga pendidik, input
peserta didik, lingkungan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sarana
prasarana, dan penilaian.
Pendidikan inklusif merujuk pada
pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali.
Perubahan pendidikan melalui pendidikan inklusif memiliki arti penting
khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Secara teoritis pendidikan inklusif adalah proses pendidikan yang memungkinkan
semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas
reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.
Sekolah inklusif adalah sekolah biasa/reguler yang
menyelengarakan pendidikan inklusif dengan mengakomodasi semua peserta didik
baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang
kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, mental, cerdas, berbakat istimewa,
suku terasing, korban bencana alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan
warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna
wisma, anak terbuang, anak yang terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena
daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS
(ODHA), anak nomaden dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah
inklusif harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari
para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan
menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui
penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi
pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan
penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Berikut adalah profil
pembelajaran di sekolah inklusif adalah
sebagai berikut:
1.
Menciptakan dan
menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai
perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang
menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang
menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi,
agama, dan sebagainya.
2.
Menuntut
penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusif
berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada
anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan
layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi
kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
3.
Menyiapkan dan
mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum
berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional.
di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan
semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid- murid
bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam
pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya.[2]
PENUTUP
Pendidikan
inklusif merupakan ideologi dan cita-cita pendidikan di Indonesia dalam rangka
mewujudkan pendidikan untuk semua. Pendidikan inklusif bukan hanya sekedar
penerimaan tapi pelayanan. Dalam pelaksananaannya di sekolah regular dibutuhkan
guru yang unggul, tangguh dan mampu menciptakan iklim kelas yang ramah. Dengan
begitu, seluruh peserta didik akan merasa diakui dan dihargai keberadaannya.
Akhirnya, anak-anak normal (pada umumnya) dan anak berkebutuhan khusus (ABK)
dibiasakan hidup berdampingan, sehingga ketika mereka dewasa kelak tidak
menimbulkan pikiran-pikiran yang negatif yang dapat menimbulkan kesenjangan
sosial. Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja
bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan
mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan
salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming
School).
Welcoming School ini
telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement 1994) yang
ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994
yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” sebagai suatu institusi. Hal ini
bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar, setiap anak berbeda dan perbedaan
itu merupakan kekuatan, dengan demikian kualitas proses belajar perlu
ditingkatkan melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas
atau masyarakat. Seperti halnya kondisi
nyata di sekolah, hampir setiap kelas senantiasa ada sebagian murid dalam kelas
yang membutuhkan perhatian lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan
penglihatan, atau pendengaran, fisik, atau mental kecerdasan atau emosi, atau
perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan
modifikasi kurikulum serta mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua
murid dapat menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah. Di
Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools)
semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk
semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman, untuk
mengembangkan diri, untuk membuat pilihan, untuk berkomunikasi, untuk menjadi
bagian dari komunitas, untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah,
untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang
bernilai. Persoalan kurikulum di sekolah
yang ramah merupakan tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah
dalam mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi semua anak.
Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan standar persyaratan ataupun
membuat latihan menjadi lebih mudah bagi murid-murid yang mempunyai
keterbatasan atau berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi
keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang oleh
guru-guru dan bekerjasama dengan murid-murid, orang tua, rekan- rekan guru, dan
staf. [3]
Daftar Pustaka
Adiarti,
Wulan. Jurnal Pendidikan. Vol. 12. Implementasi
Pendidikan Inklusi Melalui Strategi Pengelolaan Kelas. 2014. Diakses di journals.ums.ac.id
(pada 16 April 2018).
Rahim,
Abdul. Jurnal Pendidikan Ke-SD-an. Vol. 3. Pendidikan
Inklusif Sebagai Strategi. 2016. Diakses di jurnal.ustjogja.ac.id (pada 16
April 2018).
Fitria,
Rona. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus. Vol. 1. Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar. 2012.
Diakses di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu (pada 16 April 2018).
[1] Wulan Adiarti, Jurnal
Pendidikan, Vol. 12, Implementasi
Pendidikan Inklusi Melalui Strategi Pengelolaan Kelas, 2014, Diakses di journals.ums.ac.id
(pada 16 April 2018).
[2]Abdul
Rahim, Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 3, Pendidikan
Inklusif Sebagai Strategi, 2016, Diakses di jurnal.ustjogja.ac.id
(pada 16 April 2018).
[3]
Rona Fitria, Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, Vol. 1, Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar, 2012,
Diakses di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu
(pada 16 April 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar