Selasa, 11 Desember 2018

PENDIDIKAN INKLUSI



PENDIDIKAN INKLUSI


Pendahuluan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum atau rata-rata anak seusianya. Anak tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan, pendidikan dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anak-anak tersebut mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang berbeda. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama.
 PERMENDIKNAS No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi, mewajibkan setiap daerah dapat menyelenggarakan sekolah inklusi. Paling tidak dalam satu kecamatan memiliki minimal satu SD dan satu SMP yang menyelenggarakan sekolah dengan sistem inklusi. Hal tersebut juga berimplikasi pada pendidikan prasekolah yang salah satu tujuannya adalah menyiapkan mental dan fisik anak didik untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apabila sistem inklusi telah diselenggarakan sejak dini melalui pendidikan prasekolah, maka akan memberikan pengaruh dan kontribusi yang cukup signifikan baik bagi lembaga maupun peserta didik. Pada kenyataannya mengelola kelas dengan sistem inklusi bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Sampai saat ini kendala yang seringkali dihadapi oleh sekolah-sekolah yang belum menjalankan inklusi adalah kesiapan guru untuk mengelola kegiatan belajar mengajar.[1]
Pembahasan
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang menerima semua keberagaman siswa, baik agama, suku, warna kulit, kemampuan intelektual dan memberikan pelayanan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa. Pendidikan inklusi menerima semua siswa baik siswa normal maupun ABK dan belajar bersama di sekolah regular. Dalam pelayanan ABK, guru harus mengetahui hambatan serta kebutuhan apa yang diperlukan oleh anak tersebut. Penyelenggaraan pendidikan inklusi terdapat komponen yang saling terkait. Komponen-komponennya yaitu fleksibilitas kurikulum, tenaga pendidik, input peserta didik, lingkungan penyelenggaraan pendidikan inklusif, sarana prasarana, dan penilaian.
Pendidikan inklusif merujuk pada pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan melalui pendidikan inklusif memiliki arti penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Secara teoritis pendidikan inklusif adalah proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.
Sekolah inklusif adalah sekolah biasa/reguler yang menyelengarakan pendidikan inklusif dengan mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, mental, cerdas, berbakat istimewa, suku terasing, korban bencana alam, bencana sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak terlantar, anak tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak nomaden dan lain-lain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah inklusif harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya. Berikut adalah profil pembelajaran di  sekolah inklusif adalah sebagai berikut:
1.      Menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya.
2.      Menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusif berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
3.      Menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid- murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya.[2]

PENUTUP
Pendidikan inklusif merupakan ideologi dan cita-cita pendidikan di Indonesia dalam rangka mewujudkan pendidikan untuk semua. Pendidikan inklusif bukan hanya sekedar penerimaan tapi pelayanan. Dalam pelaksananaannya di sekolah regular dibutuhkan guru yang unggul, tangguh dan mampu menciptakan iklim kelas yang ramah. Dengan begitu, seluruh peserta didik akan merasa diakui dan dihargai keberadaannya. Akhirnya, anak-anak normal (pada umumnya) dan anak berkebutuhan khusus (ABK) dibiasakan hidup berdampingan, sehingga ketika mereka dewasa kelak tidak menimbulkan pikiran-pikiran yang negatif yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School).
Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” sebagai suatu institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar, setiap anak berbeda dan perbedaan itu merupakan kekuatan, dengan demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.  Seperti halnya kondisi nyata di sekolah, hampir setiap kelas senantiasa ada sebagian murid dalam kelas yang membutuhkan perhatian lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan, atau pendengaran, fisik, atau mental kecerdasan atau emosi, atau perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan modifikasi kurikulum serta mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua murid dapat menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah. Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman, untuk mengembangkan diri, untuk membuat pilihan, untuk berkomunikasi, untuk menjadi bagian dari komunitas, untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah, untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai.  Persoalan kurikulum di sekolah yang ramah merupakan tantangan terbesar bagi guru-guru dan sekolah-sekolah dalam mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan partisipasi semua anak. Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi lebih mudah bagi murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau berkebutuhan khusus. Tetapi adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang oleh guru-guru dan bekerjasama dengan murid-murid, orang tua, rekan- rekan guru, dan staf.  [3]




Daftar Pustaka


Adiarti, Wulan. Jurnal Pendidikan. Vol. 12. Implementasi Pendidikan Inklusi Melalui Strategi Pengelolaan Kelas. 2014. Diakses di journals.ums.ac.id (pada 16 April 2018).

Rahim, Abdul. Jurnal Pendidikan Ke-SD-an. Vol. 3. Pendidikan Inklusif Sebagai Strategi. 2016. Diakses di jurnal.ustjogja.ac.id (pada 16 April 2018).

Fitria, Rona. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus. Vol. 1. Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar. 2012. Diakses di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu (pada 16 April 2018).



[1] Wulan Adiarti, Jurnal Pendidikan, Vol. 12, Implementasi Pendidikan Inklusi Melalui Strategi Pengelolaan Kelas, 2014, Diakses di journals.ums.ac.id (pada 16 April 2018).

[2]Abdul Rahim, Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 3, Pendidikan Inklusif Sebagai Strategi, 2016, Diakses di jurnal.ustjogja.ac.id (pada 16 April 2018).

[3] Rona Fitria, Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, Vol. 1, Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar, 2012, Diakses di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu (pada 16 April 2018).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar