KONSEP
PENDIDIKAN MENURUT PARA PEMIKIR PENDIDIKAN DUNIA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat
Pendidikan”
Dosen
Pengampu :
Muhammad
Heriyudanta M. Pd. I
Disusun
oleh :
1. Tika
Nur Aisyah (210616072)
2. Umi
Nur Azizah (210616099)
Kelas: GMI.C
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
PONOROGO
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan merupakan
suatu proses didalam menemukan transformasi baik dalam diri maupun komunitas. Oleh
sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari
berbagai kungkungan, intimindasi dan eksploitasi. Disinilah letak afinitas dari
pedagogic yaitu membebaskan manusia secara komprehensif dari ikatan-ikatan yang
terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan
seseorang.
Menurut Freire, manusia
adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak
seharusnya tidak diperlakukan seperti robot atau mainan yang bias dimainkan
atau dimanipulatif. Anak-anak didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa
depan masing-masing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah
mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki.
Melihat kenyataan yang
terjadi para pemikir pendidikan berusaha menggagas pemikiran pendidikan bagi
harkat dan martabat kemanusiaan diantarannya adalah Paulo Freire dan Ivan Illich, mereka adalah tokoh
yang merelakan dan menperjuangkan semangat tersebut dalam dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
konsep pendidikan menurut Paulo Freire?
2. Bagaimana
konsep pendidikan menurut Ivan Illich?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
pendidikan Paulo Freire
1. Sketsa
Biografi Paulo Freire
Paulo
Freire seorang tokoh pendidikan multikultural, ia merupakan putra Brazil yang
lahir pada tanggal 19 September 1921 tepatnya di daerah Recife, sebelah timur
laut Brazil. Pada saat itu merupakan pusat salah satu daerah paling miskin dan
terbelakang di dunia ketiga. Freire berasal dari keluarga menengah, tetapi ia
sejak kecil hidup dalam situasi miskin karena keluarganya tertimpa kemunduran
finansial, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat
sekitar tahun 1929 dan juga imbasnya juga sampai ke Brazil. Namun, Freire
terlahir dari kalangan keluarga yang sangat demokratis, menghargai dialog dan
memperluas kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk mengemukakan
ekspresi pribadi masing-masing. Paulo Freire, meskipun tidak termasuk dari
kalangan the have, akan tetapi ia mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan
di Perguruan Tinggi. Tentunya di sini sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangannya dalam berfikir dan bertindak. Sehingga karakter yang sangat
mencolok bagi Freire adalah seorang yang sangat terbuka (inklusif), menghargai
pendapat orang lain (toleran) dan selalu mengedepankan dialog. Pada zamannya Freire
dapat dikatakan “zaman kelaparan”. Keadaan ini justru meninggalkan pengaruh
kuat dalam hidupnya, ketika ia merasakan gerogotan sakit kelaparan.
Pada usia 11 tahun Freire menyatakan tekad
untuk mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kemiskinan sehingga
anak-anak lain tidak akan mengenal penderitaan seperti yang dirasakannya semasa
hidupnya. Paulo Freire menamatkan studi pada Fakultas Hukum Universitas Recife.
Dari sinilah kemudian Paulo Freire mengasah dan menggembleng diri
memperdalam
pengetahuan filsafat dan psikologi bahasa yang secara tidak langsung menjadi
bekal untuk memperkuat konsep-konsep kritisnya. Pengaruh pemikirannya, tidak
hanya dalam pendidikan saja, tetapi dalam teori-teori sosial modernpun sempat
merujuk pada buah pemikirannya. Pemikiran kritis Paulo Freire telah menghegemoni
(menguasai) wilayah-wilayah teoritis maupun praktis dalam bidang pendidikan. Kecenderungan
Freire lebih ke arah pendalaman konsep pendidikan ketika Freire menjalani
mahligai rumah tangga bersama Elza Maria Costa Oliveira, pada tahun 1944. ini
berpengaruh pada jiwanya yang sebelumnya padahal lebih menghegemoni filsafat
dan psikologi bahasa.
Sewaktu
masih muda, Paulo Freire banyak menelaah karya-karya Karl Marx, Maritain,
Bernanos dan Mounier. Tidak hanya itu beberapa pemikiran dan para filosof
sebelumnya juga tidak luput dari kehausan intelektualnya. Sebut saja Erich
Fromm, Jean Paule Sartre, Friedrich Nietzche, Antonio Gramschi dan sebagainya.
Literatur yang banyak itu kemudian semakin mematangkan konsep-konsepnya. Freire
telah berhasil menarik buah pemikiran para tokoh sebelumnya menjadi bangunan
konseptual yang berpengaruh di dunia pendidikan khususnya.
Paulo
Freire adalah pendidik, toelog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap mesias
dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang
kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun, juga sosok yang
sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan
dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas
pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu
mencerminkan nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk
pendidikan yang telah mencerabut manusia dari kesadarannya. Dan inipun terasa
pada zaman sekarang apa yang menjadi perjuangan Paulo Freire.[1]
2. Pendidikan
Pembebasan Paulo Freire
Menurut
Paulo Freire “education as the practice of freedom” pendidikan pembebasan
adalah membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu
suatu keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat
dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Sebenarnya Freire ingin mengajak atau
mengarahkan pendidikan untuk membentuk manusia bebas, manusia otonom yang
menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia
berfikir kritis dan menganggap dirinya sebagai subyek atas dunia dan realitas.
Pikiran-bahasan
menjadi kebutuhan inti pendidikan sebab itu adalah suatu kesatuan yang
menggunakan realitas kepada manusia karena pemikiran tidak mungkin tanpa bahasa
dan keduanya tidak mungkin tanpa dunia yang diacu itu. Karena manusia adalah
kombinasi pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan kebudayaan.
Freire menitikberatkan proses penyadaran (conscietization) terhadap diri
manusia atas segala kelemahannya dan kesahalannya baik dalam menerima nasib
serta melakukan upaya pendobrakan untuk menjadi manusia yang bebas dari
belenggu yang mengerikan. Pada awalnya memang Freire tertarik pada pembebasan
buta huruf atau aksara, tetapi dalam perjalanannya yang ia lakukan dalam
pendidikan justru lebih dari sekedar pembebasan buta huruf. Melek huruf
merupakan modal awal guna melawan proses dehumanisasi. Pembongkaran terhadap
dehumanisasi mampu dikurangi sedikit demi sedikit dengan melek huruf.
Freire
menginginkan manusia yang utuh serta memiliki otonom terhadap diri, realitas
dan dunianya. Di sisi lain, memanusiakan manusia (proses humanisasi), ini
adalah gambaran manusia ideal bagi Freire. Manusia ideal adalah manusia
tersebut memperoleh keutuhan. Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi manusia
yang ideal (humanisasi) ini memerlukan manusia yang sadar akan diri. Adanya
kesadaran dalam diri manusia itu diperoleh dengan kebebasan. Dalam pendidikan
pembebasan Freire menekankan perlunya metode pendidikan kritis dialogis bagi
masyarakat miskin, tertindas dan bodoh, sehingga mendorong perubahan sifat
seseorang agar berwatak demokratis. Contoh, di Indonesia, nama Freire sangat
terkenal di kalangan LSM. Model pendidikan partisipatif yang digunakan LSM
dalam aktivitas pengembangan masyarakat mengambil inspirasi dari praktis
pendidikan pembebasan yang digagas Paulo Freire,14 Maka pendidikan pembebasan
tidak mengajak kaum tertindas menjadi penindas, melainkan kaum tertindas jangan
sampai, dalam mengusahakan memperoleh kembali kemanusiaan mereka, berubah
menjadi penindas kaum penindas, tetapi mereka harus memanusiakan kembali
keduanya.[2]
Dalam
pendidikan menurut Paulo Freire adalah praktek pembebasan, karena ia
membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan ganda berupa
kebisuan dan monolog. Kedua-duanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang
satu mulai menganggap diri cukup berharga biarpun buta huruf, miskin, dan tidak
menguasai teknologi, dan yang lain belajar berdialog meski masih saja
dibayang-bayangi oleh peranan pendidik yang serba tahu.[3]
3. Karya-karya Paulo Freire
Sebenarnya
Paulo Freire banyak menulis buku dan esai-esai pendidikan. Namun karena
keterbatasan mengakses pemikirannya, terutama pada proses penerjemahannya dari
bahasa Latin ke bahasa Inggris semakin menyulitkan kita untuk berkenalan,
bercengkrama secara langsung dengan pemikirannya. Beberapa karya Freire yang
sempat diakses oleh berbagai negara maju maupun berkembang, seperti berikut
ini:
1. Education
as The Practice for Freedom ditulis pada tahun 1973.
2. Cultural Action for Freedom, ditulis pada
tahun 1970. merupakan satu dari dua buku yang ditulis oleh Freire pada tahun
1970 yang diterbitkan Amerika. Dalam buku ini Freire membahas masalah-masalah perubahan
kultural yang berjalan seiring dengan pengajaran dan pembelajaran ketrampilan
baru. Karya Freire yang ini sering dikutip bahkan telah menjadi bacaan klasik
dalam kepustakaan ilmu sosial.
3. Pedagogy
of The Oppresed (Pendidikan Kaum Tertindas), ditulis pada tahun yang sama
(1970). Buku ini merupakan hasil refleksi Freire secara mendalam mengenai
proses pembebasan manusia. Dalam buku ini Freire berusaha menyajikan suatu
pandangan filosofis tentang apa yang dapat terwujud dari para laki-laki dan
perempuan untuk mentransformasi sejarah menjadi subyek melalui suatu refleksi
yang kritis.
4. The
Meaning of Conscientizacao ditulis pada saat dunia melihat kejinya perang
saudara (perang Vietnam, perang di Libanon, perang Pakistan), kejinya tindak
kekerasan yang diberi cap “teror” (IRA), kejinya kemiskinan (di Somalia),
mobilisasi anak-anak (misalnya Sudan).
5. Pedagogy
of The Heart (1999) merupakan buku paling menarik, karena Freire berusaha
melihat ke dalam hidupnya sendiri untuk berefleksi tentang pendidikan dan politik. Freire menampilkan dirinya sebagai demokrat
yang tidak mengenal kompromi dan pembaru radikal yang gigih.
6. Paedagogy
of Hope (1994), buku ini ditulis seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua jalan
yang ia tempuh telah buntu kecuali jalan terakhir.
7. Hope
– harapan. Ini adalah dua buku yang terakhir, namun semangat Paulo Freire harus
menjadi sengatan yang diberikan generasi muda untuk kehidupannya. Freire
mengajak mempertahankan harapan kendati realitas kejam mengajak kita untuk
tidak berharap. Perjuangan demi harapan berarti kesediaan untuk menanggalkan
semua bentuk penistaan rencana tak terpuji dan ketidakpedulian. Semua ini tidak terlepas dari latar belakang
Freire yang hidup melalui masa pemerintahan militer, masa pembuangan, bahkan
masa ia memegang jabatan sebagai Menteri Pendidikan Sao Paulo, semua pengalaman
ini justru semakin memperbesar komitmennya kepada orang-orang yang terpinggir,
lapar, dan buta huruf akibat rezim Brazil yang menindas.
Pada
tahun 1969-1970 Freire menerbitkan dua buah artikel untuk Harvard Educational
Review yang berjudul “Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom”
dan “Cultural Action and Conscientization”. Kedua makalah ini merangkum hampir
semua teori kependidikannya dalam bahasa Inggris yang pertama kali karena karya-karya
tulisannya yang lain selalu dalam bahasa Spanyol dan Portugis.[4]
4. Ide-ide yang Membentuk Filsafat Kependidikan
Ketika
membaca atau menalaah karya-karya Freire maka dapat ditemukan kemiripan ide-ide
Freire dengan Marx dan Mao dalam aspek sejarah dan kebudayaan, namun analisis
filsafat pendidikan Freire tidak pernah mengarah pada aliran manapun.
Pikirannya banyak terinspirasi dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Freire
sering disebut orang yang idealis, “komunis”, teolog yang menyamar sebagai “fenomenolog”
dan juga sebagai “eksistensialis”. Kemampuan Freire dalam menghadapi
orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya justru Freire menjadi populer,
ini dikarenakan Freire mampu memanfaatkan perkembangan yang bervariasi. Freire
memiliki publik pembaca yang amat luas akan tetapi tulisannya menuntut
kesadaran untuk diasimilasikan, pemikirannya memunculkan suatu sintesis yang
sulit untuk digenggam totalitasnya.
Menurut
Collins pemikiran Freire terbentuk oleh lima komponen klasik, kelima faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Personalisme,
sebuah perspektif terhadap dunia yang optimis, dan sebuah seruan untuk
bertindak yang merupakan karakter pemikiran Freire.
2. Eksistensialisme,
manusia dipandang sebagai subyek kesadaran lawannya adalah materialisme yang
memandang manusia sebagai obyek. Kedua-duanya mengandung kebenaran, tetapi
kedua-duanya juga salah. Dalam hal ini eksistensialisme ingin keluar dari dua
ekstriminitas tersebut. Namun Freire menekankan dialog sebagai alat penting dan
bagian dari metodologinya sementara kaum eksistensialis menekankan kebebasan
manusia untuk memilih dan bertindak.
3. Fenomenologi,
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap
gejala-gejala yang membanjiri manusia. Secara sempit fenomenologi adalah ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dengan
kesadaran, manusia akan melakukan refleksi tentang apa yang diketahuinya.
Berkat refleksi itu pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan,
kemudian diatur dan dibakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya
dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dikritik dan dibela. Hal ini sering
digunakan Freire beserta murid-muridnya untuk menemukan diri mereka sendiri
sebagai bagian dari realitas. Kesadaran adalah prasyarat untuk mengetahui
realitas.
4. Marxisme,
manusia merupakan makhluk kreatif yang dengan hasrat dan kekuatannya dapat
menghasilkan produk. Manusia dalam sejarahnya telah mengubah objek-objek dunia
alamiah dan telah menciptakan budaya di seluruh dunia. Dalam analisis Marx, sub
struktur material (ekonomi) adalah penyebab semua masalah yang terjadi dalam
super struktur sosial, politik, agama dan budaya. Masa depan manusia harus
menghapuskan sistem kelas dalam masyarakat. Dengan adanya kelas, masyarakat dibuat
terkotak oleh kelas. Dalam hal ini Freire memakai metode membangun generative
themes dari pelajarannya sendiri, yaitu tema penting yang dapat membuka
pemahaman baru tentang masalah-masalah sosial ekonomi. Freire yakin bahwa
satu-satunya tema yang menjadi landasan oleh semua tema lain adalah tema
dominasi. Pendidikan harus memakai cara membangun kesadaran tentang dominasi
(conscientizacao) dengan tujuan pembebasan. Freire mengharap dunia bisa
ditransformasikan, sebagian proses transformasi bisa terjadi melalui
“pendidikan” yang melaksanakan kemerdekaan.
5. Kristianitas,
Freire mengajukan pertanyaan kritis di seputar keberadaan umat manusia,
terutama bagi mereka yang hidupnya menderita kelaparan, kehausan serta
kemiskinan. Freire tidak mempunyai kesabaran kepada gereja tradisional dan
gereja modern, ia lebih terpesona pada masa depan yang harus diusahakan. Freire
menduga bahwa gagasan yang menggambarkan dunia dan kontradiksi sosial sebagai
situasi yang dititahkan dari keabadian Tuhan akan melemahkan atau melumpuhkan
kegiatan-kegiatan manusia, seseorang yang mencoba menerangkan ketidakadilan
sosial yang menimpa dirinya atau orang lain sebagai kehendak Tuhan jauh dalam
sebuah Kristianitas yang salah. Freire mengajak agar orang-orang Kristen masuk
ke dalam sebuah hubungan yang aktif dengan dunia. Untuk itu Freire memberikan
dorongan kepada semua orang untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih
manusiawi dan terhindar dari unsur-unsur menindas.[5]
5. Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire
Perlunya dan cita rasa harapan adalah nama
lain dari conscientizacao. Keduanya menggambarkan keberanian orang untuk
menjemput resiko tak terelakkan demi perubahan. Banyak orang menafsirkan
conscientizacao dengan segala perbedaannya, namun ini akan memperkaya maksud
dari zonscientizacao.
Conscientizacao
berarti “kebanggaan etnis” bagi kelompok lain berarti “aksi politik”, dan ada
juga yang menganggapnya sebagai “penolakan terhadap penindasan”. Akan tetapi
conscientizacao kesadaran atau penyadaran adalah sebuah kata yang indah.
Sebagai konsep tak seorangpun menolaknya. Akan tetapi, kalau hal itu kita
pahami dalam konteks pedagogi Freirean, kita seakan diajak menapaki sebuah
jalan tanpa ujung. Secara umum disinggung oleh Freire bahwa conscientizacao
adalah sesuatu yang praktis, sebuah panggilan untuk pembelaan kemanusiaan.
Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas
gerakan “penyadaran” (conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari
keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan yang bisu yang selalu menakutkan.
Arti dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenali realitas
(lingkungan) sekaligus dirinya sendiri, memahami kondisi kehidupannya yang
terbelakang itu dengan kritis serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang
menyebabkannya.
Setelah
melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari
belenggu hidup manusia, sekaligus mengembalikan pada potensi fitrah yang
dimilikinya. Kebebasan (lebration) berarti pembebasan manusia dari
belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.
Dalam hal proses pembebasan memiliki indikasi
sebagai berikut:
a. Optimisme.
Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan.
b. Resisten,
adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan tekanan-tekanan
baik secara fisik atau psikis dari penguasa (baik dalam pemerintah, masyarakat,
politik, budaya, pendidikan dan lain-lain).
c. Kritis.
Sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami
kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan dengan manusia lain atau
lingkungan.
Dengan
“penyadaran” (conscientizacao) inilah Freire ingin mengubah kondisi sosial
masyarakat yang tertindas dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu
(diam), gerakan penyadaran mempunyai maksud agar manusia mengenal realitas
(lingkungan) sekaligus dirinya supaya manusia tidak terjebak dengan sistem yang
menindas. Untuk itu berfikir kritis dan bertindak adalah kekuatan yang harus
diusahakan terus jangan sampai padam.[6]
B.
Pemikiran pendidikan Ivan Illich
1. Biografi
Ivan Illich
Ivan Illich lahir di Wina sebuah
kota yang menjadi ibu kota negara Austria pada tahun 1926, tidak diketahui
tanggal lahirnya. Sejak kecil ia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang
tuanya, dan sejak kecil pula ia mendapatkan pelajaran dan didikan dari orang
tuanya, ia termasuk anak yang cerdas.
Setelah lulus dari sekolah tingkat
pertama, kemudian Ivan Illich melanjutkan pendidikannya di Universitas
Gregoriana, Roma, Italia.Di universitas itu Ivan Illich belajar tentang
teologi. Setelah mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Gregoriana, Roma,
Italia, kemudian ia memutuskan untuk sekolah lagi di Universitas Salzburg. Di
Universitas tersebut ia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sejarah, dan tidak
lama kemudian ia diangkat atau ditahbiskan sebagai imam gereja katolik Roma.
Kemudian ia pergi ke Mexico, dan pada tahun 1956-1969 ia menjadi salah satu
pendiri Centre For Intercultural Documentation (CIDOC) di Cuernavara, Mexico,
dan sejak tahun 1964-1976 ia mendapatkan suatu penghormatan untuk memimpin
seminar-seminar penelitian tentang Institusional Alternative In a Technological
Society dengan memfokuskan studi-studi tentang Amerika Latin.[7]
Komitmennya pada humanisme radikal
menjadikan ia salah seorang hero bagi kaum katolik kiri. Akibatnya sepak
terjangnya banyak tidak dimengerti oleh hirarki gereja dan lembaga-lembaga
konvensional serta ide-ide yang berlaku tentang apa itu keutamaan sosial.
Sejak tahun 1981, Ivan Illich
menjadi profesor tamu di Gottingen dan berlin di Jerman. Dan akhir tahun 1982
ia mengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat.
Ivan Illich yang dilahirkan di Wina
pada tahun 1926 adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan
ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai
pemikir “humanis radikal”. Ia termasuk orang yang mempunyai kepribadian yang
langka, kegembiraan yang besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur,
seluruh pemikirannya didasarkan pada perhatiannya terhadap penyempurnaan
manusia secara fisik, secara rohaniah, dan secara intelektual.
Semasa hidupnya, ia sempat
mengeluarkan karyanya dalam bentuk buku-buku ilmiah, diantara buku-buku yang
sudah terbit di Indonesia adalah :
1. Celebration of Awareness
(diterbitkan oleh Ikon Teralitera pada tahun 2002 dengan judul Perayaan
Kesadaran).
2. Medical Nemesis (diterbitkan oleh
Yayasan Obor Nasional pada tahun 1995 dengan judul Batas-batas Pengobatan).
3. Deschooling Society (diterbitkan
oleh Obor Nasional pada tahun 2000 dengan judul Bebaskan Masyarakat dari
Belenggu Sekolah).
4. Vernacular Gender (diterbitkan oleh
Pustaka Pelajar pada tahun 1998 dengan judul Matinya Gender.
2. Tujuan
Pendidikan menurut Ivan
Illich
Untuk mencapai hal yang maksimal dan
yang diinginkan dalam output di dunia pendidikan, perlu rasanya untuk sejenak
melihat dan merumuskan tujuan-tujuan dari pendidikan itu sendiri.Menurut Illich
sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan,
yaitu :
1. Pendidikan harus memberi kesempatan
kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap
saat.
2. Pendidikan harus mengizinkan semua
orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah,
demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
3. Menjamin tersedianya masukan umum
yang berkenaan dengan pendidikan.
Dari tiga
tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan bagi Illich adalah
terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu.
Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara
dimanapun.
3. Kebebasan dalam Pendidikan
Erich From
mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah membebaskan
anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari
anggapannya yang sudah mapan.
Untuk lebih kongkritnya ide-ide pembebasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan
tertuju pada sasaran-sasaran sebagai berikut :
1. Untuk membebaskan akses pada
barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang
atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.
2. Untuk membebaskan usaha membagikan
keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan
itu menurut permintaan.
3. Untuk membebaskan sumber-sumber daya
yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada
masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan
pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang
menganggap diri berbicara atas nama rakyat.
4. Untuk membebaskan individu dari
kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh
profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar
dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing,
penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari
kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau
tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang
menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang
ini.
Dari poin-poin di atas dapat kita
simpulkan bahwa Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang
sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu
pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi
dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam. Pada
akhirnya, seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah dijajakan oleh
sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa harus tahu dari mana dan bagimana ilmu
pengetahuan tersebut.
4. Demokrasi
Pendidikan menurut Ivan
Illich
Menurut Illich, Sekolah merupakan
sarana umum yang palsu, sekilas memang sekolah memberi kesan terbuka terhadap
semua orang yang datang ke sekolah. Tetapi dalam kenyataannya sekolah hanya
terbuka kepada mereka yang terus-menerus memperbarui surat kepercayaan mereka.
Maka Sekolah di ibaratkan seperti jalan tol, bagi mereka yang mampu membayar
biaya sekolah, maka mereka akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah
dan menikmatinya, tetapi bagi mereka yang tidak mampu membayar, maka mereka
tidak ada kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah, ini diakibatkan
karena mahalnya biaya pendidikan.
Karena mahalnya biaya sekolah
inilah, kemudian Ivan Illich berharap adanya sebuah demokrasi dalam memperoleh
pendidikan, dimana pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik kaya
ataupun miskin. Sejenak mari kita telaah anak-anak usia sekolah dasar yang
tertampung dan dapat mengenyam pendidikan di beberapa negara. Gagasan demokrasi
Ivan Illich hanya dalam tataran demokrasi dalam memperoleh pendidikan, karena
kondisi obyektif masyarakat Amerika Latin saat itu telah mengalami diskriminasi
dalam memperoleh pendidikan.
5. Kurikulum
Tersembunyi dan Alternatif Persekolahan
Sekolah
memiliki sebuah struktur, dimana struktur itu mengisyaratkan pesan bahwa
individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup di masa dewasa dalam masyarakat
tanpa melalui sekolah, apa yang tidak diajarkan di sekolah berarti kecil
nilainya atau tak bernilai sedikitpun, dan apa yang dipelajari di luar sekolah
tak layak diketahui. Ivan Illich menamakan struktur ini dengan Kurikulum
Tersembunyi dalam persekolahan, karena ia menjadi kerangka kerja sistem di
mana segala perubahan atas kurikulum dibuat. Dan harus dimengerti dengan jelas,
bahwa kurikulum tersembunyi menerjemahkan “belajar dari kegiatan” menjadi
sebuah komoditas
dimana sekolah
memonopoli pasar.
Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang bisa dianggap sebagai inisiasi resmi
anak sebelum masuk ke masyarakat modern, ditetapkan secara intstitusional dalam
sekolah. Tujuan ritual ini adalah bersembunyi dari mata para pesertanya, dalam
pertentangan antara mitos tentang masyarakat egaliter dengan kenyataan
kesadaran-kelas yang diabsahkannya.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Konsep
pendidikan menurut para pemikir pendidikan dunia:
1. Konsep pemikiran menurut Paulo
Freire
Paulo
Freire adalah pendidik, toelog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap mesias
dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang
kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun, juga sosok yang
sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan
dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas
pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan
nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah
mencerabut manusia dari kesadarannya. Dan inipun terasa pada zaman sekarang apa
yang menjadi perjuangan Paulo Freire.
Menurut Paulo Freire
“education as the practice of freedom” pendidikan pembebasan adalah membuat
mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu suatu
keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam
keadaan yang mendominasi dirinya. Dalam pendidikan menurut Paulo Freire adalah
praktek pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja,
dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog.
2. Konsep
pemikiran menurut Ivan Illich
Tujuan pendidikan bagi Illich adalah terjaminnya kebebasan
seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh
pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun. Erich From
mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah membebaskan
anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari
anggapannya yang sudah mapan.
Illich mencoba membebaskan
masyarakat dari anggapannya tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk
memperoleh pendidikan. Ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat
diperoleh dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah seperti
lingkungan sekitar dan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia. 1984.
Huda, Nurul. 2014. Perbandingan Pemikiran Paulo Freire dengan Ki Hajar Dewantoro Tentang
Konsep Pendidikan Humanistik serta Relevaansi
Terhadap Pendidikan Agama Islam. Jurnal Skripsi.
Mu’arif. Wacana Pendidikan Kritis. Yogyakarta: IRCiSoD. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar