Minggu, 16 September 2018

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT PARA PEMIKIR PENDIDIKAN DUNIA



KONSEP PENDIDIKAN MENURUT PARA PEMIKIR PENDIDIKAN DUNIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan”


Dosen Pengampu :
Muhammad Heriyudanta M. Pd. I
Disusun oleh :
1.      Tika Nur Aisyah          (210616072)
2.      Umi Nur Azizah          (210616099)
Kelas: GMI.C
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
 JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
2017


BAB I
PENDAHULUAN

  A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu proses didalam menemukan transformasi baik dalam diri maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimindasi dan eksploitasi. Disinilah letak afinitas dari pedagogic yaitu membebaskan manusia secara komprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Menurut Freire, manusia adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak seharusnya tidak diperlakukan seperti robot atau mainan yang bias dimainkan atau dimanipulatif. Anak-anak didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa depan masing-masing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki.
Melihat kenyataan yang terjadi para pemikir pendidikan berusaha menggagas pemikiran pendidikan bagi harkat dan martabat kemanusiaan diantarannya adalah Paulo Freire dan Ivan Illich, mereka adalah tokoh yang merelakan dan menperjuangkan semangat tersebut dalam dunia pendidikan.

  B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep pendidikan menurut Paulo Freire?
2.      Bagaimana konsep pendidikan menurut Ivan Illich?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pemikiran pendidikan Paulo Freire
1.      Sketsa Biografi Paulo Freire
Paulo Freire seorang tokoh pendidikan multikultural, ia merupakan putra Brazil yang lahir pada tanggal 19 September 1921 tepatnya di daerah Recife, sebelah timur laut Brazil. Pada saat itu merupakan pusat salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di dunia ketiga. Freire berasal dari keluarga menengah, tetapi ia sejak kecil hidup dalam situasi miskin karena keluarganya tertimpa kemunduran finansial, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat sekitar tahun 1929 dan juga imbasnya juga sampai ke Brazil. Namun, Freire terlahir dari kalangan keluarga yang sangat demokratis, menghargai dialog dan memperluas kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk mengemukakan ekspresi pribadi masing-masing. Paulo Freire, meskipun tidak termasuk dari kalangan the have, akan tetapi ia mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Tentunya di sini sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangannya dalam berfikir dan bertindak. Sehingga karakter yang sangat mencolok bagi Freire adalah seorang yang sangat terbuka (inklusif), menghargai pendapat orang lain (toleran) dan selalu mengedepankan dialog. Pada zamannya Freire dapat dikatakan “zaman kelaparan”. Keadaan ini justru meninggalkan pengaruh kuat dalam hidupnya, ketika ia merasakan gerogotan sakit kelaparan.
 Pada usia 11 tahun Freire menyatakan tekad untuk mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kemiskinan sehingga anak-anak lain tidak akan mengenal penderitaan seperti yang dirasakannya semasa hidupnya. Paulo Freire menamatkan studi pada Fakultas Hukum Universitas Recife. Dari sinilah kemudian Paulo Freire mengasah dan menggembleng diri
memperdalam pengetahuan filsafat dan psikologi bahasa yang secara tidak langsung menjadi bekal untuk memperkuat konsep-konsep kritisnya. Pengaruh pemikirannya, tidak hanya dalam pendidikan saja, tetapi dalam teori-teori sosial modernpun sempat merujuk pada buah pemikirannya. Pemikiran kritis Paulo Freire telah menghegemoni (menguasai) wilayah-wilayah teoritis maupun praktis dalam bidang pendidikan. Kecenderungan Freire lebih ke arah pendalaman konsep pendidikan ketika Freire menjalani mahligai rumah tangga bersama Elza Maria Costa Oliveira, pada tahun 1944. ini berpengaruh pada jiwanya yang sebelumnya padahal lebih menghegemoni filsafat dan psikologi bahasa.
Sewaktu masih muda, Paulo Freire banyak menelaah karya-karya Karl Marx, Maritain, Bernanos dan Mounier. Tidak hanya itu beberapa pemikiran dan para filosof sebelumnya juga tidak luput dari kehausan intelektualnya. Sebut saja Erich Fromm, Jean Paule Sartre, Friedrich Nietzche, Antonio Gramschi dan sebagainya. Literatur yang banyak itu kemudian semakin mematangkan konsep-konsepnya. Freire telah berhasil menarik buah pemikiran para tokoh sebelumnya menjadi bangunan konseptual yang berpengaruh di dunia pendidikan khususnya.
Paulo Freire adalah pendidik, toelog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun, juga sosok yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencerabut manusia dari kesadarannya. Dan inipun terasa pada zaman sekarang apa yang menjadi perjuangan Paulo Freire.[1]

2.      Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
Menurut Paulo Freire “education as the practice of freedom” pendidikan pembebasan adalah membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu suatu keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Sebenarnya Freire ingin mengajak atau mengarahkan pendidikan untuk membentuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir kritis dan menganggap dirinya sebagai subyek atas dunia dan realitas.
Pikiran-bahasan menjadi kebutuhan inti pendidikan sebab itu adalah suatu kesatuan yang menggunakan realitas kepada manusia karena pemikiran tidak mungkin tanpa bahasa dan keduanya tidak mungkin tanpa dunia yang diacu itu. Karena manusia adalah kombinasi pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan kebudayaan. Freire menitikberatkan proses penyadaran (conscietization) terhadap diri manusia atas segala kelemahannya dan kesahalannya baik dalam menerima nasib serta melakukan upaya pendobrakan untuk menjadi manusia yang bebas dari belenggu yang mengerikan. Pada awalnya memang Freire tertarik pada pembebasan buta huruf atau aksara, tetapi dalam perjalanannya yang ia lakukan dalam pendidikan justru lebih dari sekedar pembebasan buta huruf. Melek huruf merupakan modal awal guna melawan proses dehumanisasi. Pembongkaran terhadap dehumanisasi mampu dikurangi sedikit demi sedikit dengan melek huruf.
Freire menginginkan manusia yang utuh serta memiliki otonom terhadap diri, realitas dan dunianya. Di sisi lain, memanusiakan manusia (proses humanisasi), ini adalah gambaran manusia ideal bagi Freire. Manusia ideal adalah manusia tersebut memperoleh keutuhan. Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi manusia yang ideal (humanisasi) ini memerlukan manusia yang sadar akan diri. Adanya kesadaran dalam diri manusia itu diperoleh dengan kebebasan. Dalam pendidikan pembebasan Freire menekankan perlunya metode pendidikan kritis dialogis bagi masyarakat miskin, tertindas dan bodoh, sehingga mendorong perubahan sifat seseorang agar berwatak demokratis. Contoh, di Indonesia, nama Freire sangat terkenal di kalangan LSM. Model pendidikan partisipatif yang digunakan LSM dalam aktivitas pengembangan masyarakat mengambil inspirasi dari praktis pendidikan pembebasan yang digagas Paulo Freire,14 Maka pendidikan pembebasan tidak mengajak kaum tertindas menjadi penindas, melainkan kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan memperoleh kembali kemanusiaan mereka, berubah menjadi penindas kaum penindas, tetapi mereka harus memanusiakan kembali keduanya.[2]
Dalam pendidikan menurut Paulo Freire adalah praktek pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog. Kedua-duanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu mulai menganggap diri cukup berharga biarpun buta huruf, miskin, dan tidak menguasai teknologi, dan yang lain belajar berdialog meski masih saja dibayang-bayangi oleh peranan pendidik yang serba tahu.[3]

3.       Karya-karya Paulo Freire
Sebenarnya Paulo Freire banyak menulis buku dan esai-esai pendidikan. Namun karena keterbatasan mengakses pemikirannya, terutama pada proses penerjemahannya dari bahasa Latin ke bahasa Inggris semakin menyulitkan kita untuk berkenalan, bercengkrama secara langsung dengan pemikirannya. Beberapa karya Freire yang sempat diakses oleh berbagai negara maju maupun berkembang, seperti berikut ini:
1.      Education as The Practice for Freedom ditulis pada tahun 1973.
2.       Cultural Action for Freedom, ditulis pada tahun 1970. merupakan satu dari dua buku yang ditulis oleh Freire pada tahun 1970 yang diterbitkan Amerika. Dalam buku ini Freire membahas masalah-masalah perubahan kultural yang berjalan seiring dengan pengajaran dan pembelajaran ketrampilan baru. Karya Freire yang ini sering dikutip bahkan telah menjadi bacaan klasik dalam kepustakaan ilmu sosial.
3.      Pedagogy of The Oppresed (Pendidikan Kaum Tertindas), ditulis pada tahun yang sama (1970). Buku ini merupakan hasil refleksi Freire secara mendalam mengenai proses pembebasan manusia. Dalam buku ini Freire berusaha menyajikan suatu pandangan filosofis tentang apa yang dapat terwujud dari para laki-laki dan perempuan untuk mentransformasi sejarah menjadi subyek melalui suatu refleksi yang kritis.
4.      The Meaning of Conscientizacao ditulis pada saat dunia melihat kejinya perang saudara (perang Vietnam, perang di Libanon, perang Pakistan), kejinya tindak kekerasan yang diberi cap “teror” (IRA), kejinya kemiskinan (di Somalia), mobilisasi anak-anak (misalnya Sudan).
5.      Pedagogy of The Heart (1999) merupakan buku paling menarik, karena Freire berusaha melihat ke dalam hidupnya sendiri untuk berefleksi tentang pendidikan dan politik.  Freire menampilkan dirinya sebagai demokrat yang tidak mengenal kompromi dan pembaru radikal yang gigih.
6.      Paedagogy of Hope (1994), buku ini ditulis seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua jalan yang ia tempuh telah buntu kecuali jalan terakhir.
7.      Hope – harapan. Ini adalah dua buku yang terakhir, namun semangat Paulo Freire harus menjadi sengatan yang diberikan generasi muda untuk kehidupannya. Freire mengajak mempertahankan harapan kendati realitas kejam mengajak kita untuk tidak berharap. Perjuangan demi harapan berarti kesediaan untuk menanggalkan semua bentuk penistaan rencana tak terpuji dan ketidakpedulian.  Semua ini tidak terlepas dari latar belakang Freire yang hidup melalui masa pemerintahan militer, masa pembuangan, bahkan masa ia memegang jabatan sebagai Menteri Pendidikan Sao Paulo, semua pengalaman ini justru semakin memperbesar komitmennya kepada orang-orang yang terpinggir, lapar, dan buta huruf akibat rezim Brazil yang menindas.

Pada tahun 1969-1970 Freire menerbitkan dua buah artikel untuk Harvard Educational Review yang berjudul “Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom” dan “Cultural Action and Conscientization”. Kedua makalah ini merangkum hampir semua teori kependidikannya dalam bahasa Inggris yang pertama kali karena karya-karya tulisannya yang lain selalu dalam bahasa Spanyol dan Portugis.[4]
4.       Ide-ide yang Membentuk Filsafat Kependidikan
Ketika membaca atau menalaah karya-karya Freire maka dapat ditemukan kemiripan ide-ide Freire dengan Marx dan Mao dalam aspek sejarah dan kebudayaan, namun analisis filsafat pendidikan Freire tidak pernah mengarah pada aliran manapun. Pikirannya banyak terinspirasi dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Freire sering disebut orang yang idealis, “komunis”, teolog yang menyamar sebagai “fenomenolog” dan juga sebagai “eksistensialis”. Kemampuan Freire dalam menghadapi orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya justru Freire menjadi populer, ini dikarenakan Freire mampu memanfaatkan perkembangan yang bervariasi. Freire memiliki publik pembaca yang amat luas akan tetapi tulisannya menuntut kesadaran untuk diasimilasikan, pemikirannya memunculkan suatu sintesis yang sulit untuk digenggam totalitasnya.

Menurut Collins pemikiran Freire terbentuk oleh lima komponen klasik, kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Personalisme, sebuah perspektif terhadap dunia yang optimis, dan sebuah seruan untuk bertindak yang merupakan karakter pemikiran Freire.
2.      Eksistensialisme, manusia dipandang sebagai subyek kesadaran lawannya adalah materialisme yang memandang manusia sebagai obyek. Kedua-duanya mengandung kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Dalam hal ini eksistensialisme ingin keluar dari dua ekstriminitas tersebut. Namun Freire menekankan dialog sebagai alat penting dan bagian dari metodologinya sementara kaum eksistensialis menekankan kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak.
3.      Fenomenologi, merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala-gejala yang membanjiri manusia. Secara sempit fenomenologi adalah ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dengan kesadaran, manusia akan melakukan refleksi tentang apa yang diketahuinya. Berkat refleksi itu pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dibakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dikritik dan dibela. Hal ini sering digunakan Freire beserta murid-muridnya untuk menemukan diri mereka sendiri sebagai bagian dari realitas. Kesadaran adalah prasyarat untuk mengetahui realitas.
4.      Marxisme, manusia merupakan makhluk kreatif yang dengan hasrat dan kekuatannya dapat menghasilkan produk. Manusia dalam sejarahnya telah mengubah objek-objek dunia alamiah dan telah menciptakan budaya di seluruh dunia. Dalam analisis Marx, sub struktur material (ekonomi) adalah penyebab semua masalah yang terjadi dalam super struktur sosial, politik, agama dan budaya. Masa depan manusia harus menghapuskan sistem kelas dalam masyarakat. Dengan adanya kelas, masyarakat dibuat terkotak oleh kelas. Dalam hal ini Freire memakai metode membangun generative themes dari pelajarannya sendiri, yaitu tema penting yang dapat membuka pemahaman baru tentang masalah-masalah sosial ekonomi. Freire yakin bahwa satu-satunya tema yang menjadi landasan oleh semua tema lain adalah tema dominasi. Pendidikan harus memakai cara membangun kesadaran tentang dominasi (conscientizacao) dengan tujuan pembebasan. Freire mengharap dunia bisa ditransformasikan, sebagian proses transformasi bisa terjadi melalui “pendidikan” yang melaksanakan kemerdekaan.
5.      Kristianitas, Freire mengajukan pertanyaan kritis di seputar keberadaan umat manusia, terutama bagi mereka yang hidupnya menderita kelaparan, kehausan serta kemiskinan. Freire tidak mempunyai kesabaran kepada gereja tradisional dan gereja modern, ia lebih terpesona pada masa depan yang harus diusahakan. Freire menduga bahwa gagasan yang menggambarkan dunia dan kontradiksi sosial sebagai situasi yang dititahkan dari keabadian Tuhan akan melemahkan atau melumpuhkan kegiatan-kegiatan manusia, seseorang yang mencoba menerangkan ketidakadilan sosial yang menimpa dirinya atau orang lain sebagai kehendak Tuhan jauh dalam sebuah Kristianitas yang salah. Freire mengajak agar orang-orang Kristen masuk ke dalam sebuah hubungan yang aktif dengan dunia. Untuk itu Freire memberikan dorongan kepada semua orang untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi dan terhindar dari unsur-unsur menindas.[5] 

5.       Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire
 Perlunya dan cita rasa harapan adalah nama lain dari conscientizacao. Keduanya menggambarkan keberanian orang untuk menjemput resiko tak terelakkan demi perubahan. Banyak orang menafsirkan conscientizacao dengan segala perbedaannya, namun ini akan memperkaya maksud dari zonscientizacao.
Conscientizacao berarti “kebanggaan etnis” bagi kelompok lain berarti “aksi politik”, dan ada juga yang menganggapnya sebagai “penolakan terhadap penindasan”. Akan tetapi conscientizacao kesadaran atau penyadaran adalah sebuah kata yang indah. Sebagai konsep tak seorangpun menolaknya. Akan tetapi, kalau hal itu kita pahami dalam konteks pedagogi Freirean, kita seakan diajak menapaki sebuah jalan tanpa ujung. Secara umum disinggung oleh Freire bahwa conscientizacao adalah sesuatu yang praktis, sebuah panggilan untuk pembelaan kemanusiaan. Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas gerakan “penyadaran” (conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan yang bisu yang selalu menakutkan. Arti dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenali realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri, memahami kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkannya.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup manusia, sekaligus mengembalikan pada potensi fitrah yang dimilikinya. Kebebasan (lebration) berarti pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.
 Dalam hal proses pembebasan memiliki indikasi sebagai berikut:
a.       Optimisme. Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan.
b.      Resisten, adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan tekanan-tekanan baik secara fisik atau psikis dari penguasa (baik dalam pemerintah, masyarakat, politik, budaya, pendidikan dan lain-lain).
c.       Kritis. Sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan dengan manusia lain atau lingkungan.
Dengan “penyadaran” (conscientizacao) inilah Freire ingin mengubah kondisi sosial masyarakat yang tertindas dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu (diam), gerakan penyadaran mempunyai maksud agar manusia mengenal realitas (lingkungan) sekaligus dirinya supaya manusia tidak terjebak dengan sistem yang menindas. Untuk itu berfikir kritis dan bertindak adalah kekuatan yang harus diusahakan terus jangan sampai padam.[6]



B.      Pemikiran pendidikan Ivan Illich

1.      Biografi Ivan Illich
Ivan Illich lahir di Wina sebuah kota yang menjadi ibu kota negara Austria pada tahun 1926, tidak diketahui tanggal lahirnya. Sejak kecil ia mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dan sejak kecil pula ia mendapatkan pelajaran dan didikan dari orang tuanya, ia termasuk anak yang cerdas.
Setelah lulus dari sekolah tingkat pertama, kemudian Ivan Illich melanjutkan pendidikannya di Universitas Gregoriana, Roma, Italia.Di universitas itu Ivan Illich belajar tentang teologi. Setelah mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Gregoriana, Roma, Italia, kemudian ia memutuskan untuk sekolah lagi di Universitas Salzburg. Di Universitas tersebut ia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sejarah, dan tidak lama kemudian ia diangkat atau ditahbiskan sebagai imam gereja katolik Roma. Kemudian ia pergi ke Mexico, dan pada tahun 1956-1969 ia menjadi salah satu pendiri Centre For Intercultural Documentation (CIDOC) di Cuernavara, Mexico, dan sejak tahun 1964-1976 ia mendapatkan suatu penghormatan untuk memimpin seminar-seminar penelitian tentang Institusional Alternative In a Technological Society dengan memfokuskan studi-studi tentang Amerika Latin.[7]
Komitmennya pada humanisme radikal menjadikan ia salah seorang hero bagi kaum katolik kiri. Akibatnya sepak terjangnya banyak tidak dimengerti oleh hirarki gereja dan lembaga-lembaga konvensional serta ide-ide yang berlaku tentang apa itu keutamaan sosial.
Sejak tahun 1981, Ivan Illich menjadi profesor tamu di Gottingen dan berlin di Jerman. Dan akhir tahun 1982 ia mengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat.
Ivan Illich yang dilahirkan di Wina pada tahun 1926 adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan ide-ide pembebasannya tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai pemikir “humanis radikal”. Ia termasuk orang yang mempunyai kepribadian yang langka, kegembiraan yang besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur, seluruh pemikirannya didasarkan pada perhatiannya terhadap penyempurnaan manusia secara fisik, secara rohaniah, dan secara intelektual.
Semasa hidupnya, ia sempat mengeluarkan karyanya dalam bentuk buku-buku ilmiah, diantara buku-buku yang sudah terbit di Indonesia adalah :
1.      Celebration of Awareness (diterbitkan oleh Ikon Teralitera pada tahun 2002 dengan judul Perayaan Kesadaran).
2.      Medical Nemesis (diterbitkan oleh Yayasan Obor Nasional pada tahun 1995 dengan judul Batas-batas Pengobatan).
3.      Deschooling Society (diterbitkan oleh Obor Nasional pada tahun 2000 dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah).
4.      Vernacular Gender (diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1998 dengan judul Matinya Gender.
2.      Tujuan Pendidikan menurut Ivan Illich
Untuk mencapai hal yang maksimal dan yang diinginkan dalam output di dunia pendidikan, perlu rasanya untuk sejenak melihat dan merumuskan tujuan-tujuan dari pendidikan itu sendiri.Menurut Illich sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu :
1.   Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat.
2.   Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
3.    Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

Dari tiga tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan bagi Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun.

3.      Kebebasan dalam Pendidikan
Erich From mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah membebaskan anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. Untuk lebih kongkritnya ide-ide pembebasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan tertuju pada sasaran-sasaran sebagai berikut :
1.   Untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilai-nilai pendidikan mereka.
2.   Untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan.
3.   Untuk membebaskan sumber-sumber daya yang kritis, dan kreatif yang dimiliki rakyat dengan mengembalikan kepada masing-masing orang, kemampuannya dalam mengumpulkan orang dan mengadakan pertemuan. Suatu kemampuan yang kini makin dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang menganggap diri berbicara atas nama rakyat.
4.   Untuk membebaskan individu dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan pada jasa-jasa yang diberikan oleh profesi mapan manapun seperti sekolah, dengan memberikan kesempatan belajar dari pengalaman teman sebayanya dan mempercayakannya kepada guru, pembimbing, penasehat yang dipilihnya sendiri. Upaya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan mau tidak mau akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia dan stabilitas banyak bangsa sekarang ini.

Dari poin-poin di atas dapat kita simpulkan bahwa Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam. Pada akhirnya, seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah dijajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut.

4.      Demokrasi Pendidikan menurut Ivan Illich
Menurut Illich, Sekolah merupakan sarana umum yang palsu, sekilas memang sekolah memberi kesan terbuka terhadap semua orang yang datang ke sekolah. Tetapi dalam kenyataannya sekolah hanya terbuka kepada mereka yang terus-menerus memperbarui surat kepercayaan mereka. Maka Sekolah di ibaratkan seperti jalan tol, bagi mereka yang mampu membayar biaya sekolah, maka mereka akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya, tetapi bagi mereka yang tidak mampu membayar, maka mereka tidak ada kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah, ini diakibatkan karena mahalnya biaya pendidikan.
Karena mahalnya biaya sekolah inilah, kemudian Ivan Illich berharap adanya sebuah demokrasi dalam memperoleh pendidikan, dimana pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, baik kaya ataupun miskin. Sejenak mari kita telaah anak-anak usia sekolah dasar yang tertampung dan dapat mengenyam pendidikan di beberapa negara. Gagasan demokrasi Ivan Illich hanya dalam tataran demokrasi dalam memperoleh pendidikan, karena kondisi obyektif masyarakat Amerika Latin saat itu telah mengalami diskriminasi dalam memperoleh pendidikan.


5.      Kurikulum Tersembunyi dan Alternatif Persekolahan
Sekolah memiliki sebuah struktur, dimana struktur itu mengisyaratkan pesan bahwa individu tak bisa menyiapkan diri untuk hidup di masa dewasa dalam masyarakat tanpa melalui sekolah, apa yang tidak diajarkan di sekolah berarti kecil nilainya atau tak bernilai sedikitpun, dan apa yang dipelajari di luar sekolah tak layak diketahui. Ivan Illich menamakan struktur ini dengan Kurikulum Tersembunyi dalam persekolahan, karena ia menjadi kerangka kerja sistem di mana segala perubahan atas kurikulum dibuat. Dan harus dimengerti dengan jelas, bahwa kurikulum tersembunyi menerjemahkan “belajar dari kegiatan” menjadi sebuah komoditas dimana sekolah memonopoli pasar.
            Kurikulum tersembunyi adalah ritual yang bisa dianggap sebagai inisiasi resmi anak sebelum masuk ke masyarakat modern, ditetapkan secara intstitusional dalam sekolah. Tujuan ritual ini adalah bersembunyi dari mata para pesertanya, dalam pertentangan antara mitos tentang masyarakat egaliter dengan kenyataan kesadaran-kelas yang diabsahkannya.[8]



      


BAB III
KESIMPULAN


Konsep pendidikan menurut para pemikir pendidikan dunia:
1.      Konsep pemikiran menurut Paulo Freire
 Paulo Freire adalah pendidik, toelog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun, juga sosok yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencerabut manusia dari kesadarannya. Dan inipun terasa pada zaman sekarang apa yang menjadi perjuangan Paulo Freire.
Menurut Paulo Freire “education as the practice of freedom” pendidikan pembebasan adalah membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terbelenggu suatu keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Dalam pendidikan menurut Paulo Freire adalah praktek pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog.

2.      Konsep pemikiran menurut Ivan Illich
Tujuan pendidikan bagi Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun. Erich From mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah membebaskan anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan.
Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam.


DAFTAR PUSTAKA


Freire, Paulo. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia. 1984.

Huda, Nurul. 2014. Perbandingan Pemikiran Paulo Freire dengan Ki Hajar Dewantoro Tentang Konsep Pendidikan Humanistik serta Relevaansi  Terhadap Pendidikan Agama Islam. Jurnal Skripsi.

Mu’arif. Wacana Pendidikan Kritis. Yogyakarta: IRCiSoD. 2005.


 [1] Nurul Huda, 2014, Perbandingan Pemikiran Paulo Freire dengan Ki Hajar Dewantoro Tentang Konsep Pendidikan Humanistik serta Relevaansi  Terhadap Pendidikan Agama Islam, Jurnal Skripsi, 28-29.
[2] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984),  viii.
[3] Ibid., ix.
[4] Ibid., x.
[5] Ibid., xi.
[6] Ibid., xii.
[7] Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005),  68.
[8] Ivan Illich,  Masyarakat dari Belenggu Sekolah .(Jakarta: Obor Nasional, 2000), 13-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar